Jakarta - Kekhawatiran terhadap merebaknya wabah virus corona baru yang telah menyebar secara global memicu penurunan tajam bursa saham di China. Usai dibuka kembali pasca liburan panjang tahun baru Imlek, bursa saham mengalami penurunan.
Indeks Komposit Shanghai anjlok hampir 9 persen pada penutupan perdagangan. Selain bursa saham, harga komoditas juga merosot. Emiten manufaktur, material dan barang-barang konsumen yang paling terpukul, saat saham layanan kesehatan melambung. Penurunan saham terjadi meskipun Bank Sentral China (PBOC) mengumumkan langkah-langkah baru untuk mengurangi dampak wabah virus corona.
Bank Sentral secara tak terduga menurunkan suku bunga jangka pendek acuan jangka pendek sebagai bagian dari upaya untuk meredam tekanan pada ekonomi akiba dampak penyebaran virus corona. PBOC juga akan menambah injeksi dana segar senilai 150 miliar yuan atau 22 miliar dolar AS (Rp 302,4 triliun), sebuah langkah yang bertujuan untuk memastikan ada cukup likuiditas dalam sistem perbankan.
Seperti diberitakan dari BBC News, Senin, 3 Februari 2020, secara total bank sentral menyuntikkan 1,2 triliun yuan ke dalam sistem keuangan pada Senin. Ini merupakan penambahan likuditas terbesar dawlam catatan sejarah keuangan di China. PBOC juga akan mengucurkan banyak uang tunai sepanjang minggu karena regulator keuangan China memperkirakan dampak pada ekonomi China yang sudah melambat itu akan menjadi jangka pendek.
Wabah corona virus terjadi ketika ekonomi China yang merupakan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat (AS) melambat, menyusul perang dagang antara Washington dengan Beijing. Tahun lalu, China mencatat pertumbuhan ekonomi sebear 6,1 persen, ekspansi terlemah dalam tiga dekade terakhir. Kesepakatan parsial meredam ketegangan yang ditandatangani awal bulan ini, tetapi sebagian besar tarif tetap berlaku.
Epidemi virus corona juga berimbas bursa saham global. Salah satunya Indeks S&P 500 di Bursa Wall Street pada Jumat lalu mencatat pekan terburuk sejak Oktober 2019. Seperti diketahui, pasar saham di China didominasi oleh investor ritel yang merupakan non profesional. Mereka memiliki 80 persen saham A di bursa Shanghai, saham yang sebagian besar terbuka untuk investor China.
Pertanyaan kuncinya sekarang adalah seberapa buruk dampak virus corona baru terhadap perekonomian China dan korporasi. Yang benar menurut Kharisma Vaswani, koresponden bisnis BBC News divisi Asia, kita tidak tahu. Menurutnya, sulit untuk mendapatkan data yang diandalkan dari China. Biasanya selama periode tahun baru Imlek suilt untuk mengukur berapa banyak orang bekerja atau memproduksi barang.
"Sudah banyak perusahaan riset yang memangkas perkiraan pertumbuhan kuartal pertama 2020. Kami pada dasarnya dalam kegelapan saat ini tentang kesehatan ekonomi China. Yang mengkhawatirkan seberapa dampaknya terhadap perekonomian global," ucap Vaswani.[]
Baca Juga:
Berita terkait
No comments:
Post a Comment