KOMPAS.com - Sebuah unggahan di media sosial mengenai zona megathrust yang ada di Sulawesi dan dapat menimbulkan gelombang tsunami viral di masyarakat.
Sebuah akun menanyakan kebenaran informasi tersebut ke akun resmi Twitter Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika ( BMKG), dengan menyertakan tiga tangkapan layar kabar yang beredar.
Foto tersebut menarasikan bahwa gempa megathrust mengintai Pulau Sulawesi yang dapat menimbulkan gempa lebih dari 8 magnitudo dan tsunami lebih dari 10 meter.
Berikut narasinya:
Gempa Megathrust Intai Pulau Sulawesi
Kepala Pusat Studi Kebencanaan Unhas: untuk wilayah Sulawesi, titik megathrust Skalanya bisa di atas 8 Skala Richter (SR) yang menghasilkan tsunami dengan ketinggian 10 meter lebih.
Tedapat pula foto yang menggambarkan Pulau Sulawesi, lengkap dengan alur megathrust.
Gambar ini menginformasikan bahwa Makassar turut berpotensi mengalami gempa dahsyat.
Baca juga: BMKG Ungkap Adanya 3 Sesar Sumber Gempa di Kalimantan Timur
Tanggapan Unhas
Dalam unggahan tersebut juga mencatut Kepala Pusat Studi Kebencanaan Universitas Hasanuddin (Unhas).
Dihubungi Kompas.com, Kepala Puslitbang Kebencanaan Unhas Adi Maulana mengatakan, kabar tersebut diambil dari pemberitaan tahun lalu.
"Tahun lalu saya diwawancarai tentang potensi-potensi gempa yang ada di Indonesia berkaitan dengan gempa Palu dan Pangandaran. Kemudian (pewawancara) ingin tahu sebenarnya potensi-potensi gempa yang besar (megathrust) itu di mana saja," kata Adi kepada Kompas.com, Sabtu (11/1/2020).
Adi menjelaskan, berdasarkan penelitian, terdapat 13 daerah atau zona di Indonesia yang berpotensi terjadi gempa besar (zona megathrust), salah satunya di Sulawesi bagian utara.
"Megathrust itu biasanya terjadi di lautan. Jadi berlokasi di laut sehingga ketika terjadi gempa besar seperti itu, dia nanti akan bisa menimbulkan gelombang tsunami yang besar," ujar dia.
Berdasarkan catatan, tsunami pernah terjadi di zona megathrust Sulawesi bagian utara pada 1996.
Sementara itu, gempa besar yang terjadi di lokasi tersebut berperiode ulang kurang lebih 30 tahun.
"Periode ulang gempa besar yang terjadi di sana (Sulawesi bagian utara) itu dihitung itu periode 30 tahunan, dalam artian kurang lebih 30 tahun. Catatannya kurang lebih 30 tahunan, dulunya terjadi 1996," papar Adi.
Baca juga: BMKG Bantah Isu Retakan di Permukaan Laut Indikasikan Potensi Gempa di Jawa
Kendati demikian, ia menegaskan bahwa tidak ada gempa yang dapat diprediksi secara pasti. Namun, masyarakat dan pemerintah dapat meningkatkan kewaspadaan serta memperkuat mitigasi, agar jika memang gempa besar terjadi maka risiko bencana dapat berkurang.
"Potensi, belum terjadi. Tetapi beradasarkan data-data geologi, di situ memang ada sebuah megathrust yang berpotensi untuk terjadi gempa bumi mencapai 8 (magnitudo), yang kemudian bisa menghasilkan gelombang tsunami kurang lebih 10 meter," tutur Adi.
Adi menambahkan, daerah yang berisiko paling tinggi berada di tempat yang menghadap langsung dengan zona subdiduksi.
"Yang membuat resah itu, seakan Makassar yang kemudian akan terkena. Padahal jarak antara megathrust ada di utara Pulau Sulawesi dengan Makassar hampir 1.200 kilometer," ucap Adi.
"Kalaupun terjadi yang namanya megathrust (gempa dan tsunami), tentu saja efeknya akan sangat kecil untuk Sulawesi Selatan, bahkan mungkin tidak akan," lanjut dia.
Baca juga: Ramai soal Peringatan Banjir Jakarta dari Kedubes AS, Ini Penjelasan BMKG
Tanggapan BMKG
Secara terpisah, Kepala Bidang Gempa Bumi BMKG Daryono mengatakan bahwa tidak ada zona megathrust di selat Makassar, melainkan hanya di utara Pulau Sulawesi.
Menurut dia, wilayah Pulau Sulawesi merupakan kawasan seismik aktif dan kompleks.
"Disebut seismik aktif karena wilayah ini memiliki tingkat aktivitas gempa yang tinggi," kata Daryono saat diwawancara Kompas.com, Sabtu (11/1/2020).
Sementara, yang dimaksud dengan kompleks yaitu karena mempunyai banyak sebaran sumber gempa dengan berbagai mekanisme.
Daryono menjelaskan, dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017 yang diterbitkan oleh Pusat Studi gempa Nasional (PUSGEN), wilayah Pulau Sulawesi memiliki 48 struktur sesar aktif dan 1 zona Megathrust Sulawesi Utara.
Lebih lanjut Daryono menambahkan, di Sulawesi sendiri, zona megathrust ini berhadapan dengan wilayah pesisir pantai utara Sulawesi Utara, Gorontalo, dan sebagian Sulawesi Tengah bagian utara.
"Megathrust Sulawesi Utara merupakan sumber gempa yang berpotensi memicu gempa kuat," ujar dia.
Merunut ke sejarahnya, gempa dan tsunami menunjukkan bahwa di Pulau Sulawesi dan sekitarnya sejak tahun 1800, telah terjadi lebih dari 69 kali gempa merusak dan tsunami.
Baca juga: Mengapa Indonesia Kerap Dilanda Gempa Bumi?
Peristiwa gempa merusak terjadi lebih dari 45 kali, sementara tsunami lebih dari 24 kali.
"Sebagaian besar gempa dan tsunami di Sulawesi dipicu oleh aktivitas sesar aktif, bukan aktivitas zona megathrust," papar Daryono.
Ia menuturkan, dari 24 kali tsunami di Sulawesi, 4 kali di antaranya dipicu oleh megathrust Sulawesi bagian utara, yaitu
- Tsunami utara Gorontalo pada 25 Agustus 1871 (tidak ada korban jiwa)
- Tsunami Tolitoli pada 2 Februari 1904 (tidak ada korban jiwa)
- Tsunami Kwandang-Manado pada 29 Januari 1920 (tidak ada korban jiwa)
- Tsunami Tolitoli pada 1 Januari 1996 (9 orang meninggal)
Terkait pemberitaan viral yang menyebutkan di Selat Makassar terdapat zona megathrust dan mampu memicu gempa besar, dapat dipastikan tidak benar.
Daryono memaparkan, megathrust merupakan istilah untuk menyebut sumber gempa di zona penunjaman lempeng, tepatnya jalur subduksi landai dan dangkal.
Di Selat Makassar, lanjut dia, tak ada aktivitas penunjaman lempeng atau pate subduction, namun yang ada adalah sumber gempa Makassar Strait Thrust yang berarti sesar naik Selat Makassar.
"Sulawesi memang rawan gempa, mengingat wilayahnya banyak terdapat sumber gempa," papar Daryono.
Maka ia menilai, potensi gempa harus disampaikan kepada masyarakat apa adanya, sesuai fakta tidak berlebihan, hingga dapat menimbulkan kecemasan di masyarakat.
"Semua informasi terkait potensi gempa dan tsunami harus direspon dengan langkah nyata dengan upaya memperkuat mitigasi guna meminimalkan dampak," tuturnya.
Daryono menambahkan, meskipun tinggal di daerah rawan gempa menurutnya hal tersebut tidak menjadi soal.
"Karena yang paling penting dan harus dibangun adalah mitigasinya, kesiapsiagaannya, kapasitas stakeholder dan masyarakat, serta menyiapkan infrastrukturnya yang tahan gempa," pungkasnya.
Baca juga: Berkaca dari Gempa Ambon, Ini yang Harus Dilakukan Ketika Terjadi Gempa Bumi
https://www.kompas.com/tren/read/2020/01/11/190500065/viral-megathrust-sulawesi-sebabkan-gempa-dan-tsunami-besar-ini?page=all
No comments:
Post a Comment